Loading... Please wait

Negeri Para Pemalu

Entah kenapa kemaren teringat dengan kata-katanya Agus Hadi Sudjiwo aka Sujiwo Tejo  yang pernah ku dengar dari sebuah acara di TV, tentang KPK. Kurang lebih kata-katanya seperti ini, “KPK itu harusnya sedih saat mengumumkan tersangka, bukan sambil tersenyum seperti merasa bangga”. Yang intinya adalah, kalau merasa satu bangsa, harusnya KPK merasa sedih dan malu jika ada pejabat yang terpaksa harus dijadikan tersangka, bukan menunjukkan wajah senang seolah-olah merasa bangga karena telah berhasil menjadikan ia tersangka. Menurutku ini adalah pemikiran simple namun luar biasa bijaksana, ditengah hiruk pikuk dan senggol bacok dunia perpolitikan dan dunia dunia yang lainnya, di mana terkadang hati nurani yang murni sudah tak sampai lagi bisikannya karena hawa nafsu telah lebih berkuasa atas jiwa.

Andai boleh bermimpi, dan tentunya boleh, aku memimpikan sebuah negeri para pemalu, dimana pemimpinnya adalah para pemalu, begitu juga rakyatnya, rakyat pemalu. Pemimpinnya malu untuk berbuat sewenang-wenang, malu jika tak bisa beri bukti, malu menyia-nyiakan amanat, intinya malu jika tak berbuat yang terbaik untuk agama, bangsa, dan negara. Tak hanya pemimpinnya, rakyatnya pun pemalu bukan main, malu menjelek-jelekkan pemimpin yang keliru, malu mengolok-olokkan pemimpin yang salah atau kadang belum terbukti salah. Rakyatnya lebih memilih mendo’akan pemimpinnya daripada sibuk mengumpatnya. Rakyatnya lebih sibuk berpikir bagaimana ikut memberi daripada terus menuntut. Rakyat yang pandai bersyukur dan malu menjadi kufur.

Rakyat pemalu merasa malu jika saudaranya berbuat keliru, bukan malah gembira hanya karena ia saingan di kantor, lawan politik, atau beda idola. Saking senangnya, sampai diceritakan ke mana-mana, hingga terbuka aib dan cacat kehormatannya. Malu malu malu. Tak tau malu. Apalagi yang mengaku muslim, rasanya menjaga harga diri muslim lain adalah kewajiban dasar dalam ukhuwah.

“Seorang muslim sejati adalah bila kaum muslimin merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya. ” (H. R. Muslim)

“Setiap muslim terhadap muslim lainnya diharamakan darahnya, kehormatannya, dan juga hartanya. ” (H. R Muslim)

“(Dosa) riba itu memiliki 72 pintu. yang paling ringan ialah semisal dengan (dosa) seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Dan sesungguhnya riba yang paling besar ialah seseorang yang melanggar kehormatan/harga diri saudaranya.” (HR. Ath. Thabrani dan lainnya serta dishahihkan oleh Al-Albani)

Tapi sayang, terkadang entah kenapa kita suka lupa dengan kewajiban menjaga kehormatan orang lain, beda bangsa, beda suku, beda partai, beda club, beda kepentingan sering membuat kita terkecoh seolah-olah menjadi halal menjatuhkan harga diri orang lain. Seolah-olah menjadi halal tanpa rasa malu membuka aib orang lain walaupun sudah tahu apa yang dijanjikan bagi orang yang menutupnya.  Lebih parah lagi, malah merasa telah berbuat baik. Malu malu malu.

“Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba lainnya di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” (HR. Muslim no. 2590)

Apakah layak dengan alasan demi kepentingan orang banyak sehingga memudahkan diri kita sebebas-bebasnya menjatuhkan harga diri dan kehormatan serta membuka aib orang lain? Entahlah.. Bagaimana jika sebelum kita berbicara tentang orang lain, terutama hal yang bisa menjatuhkan harga diri dan kehormatannya, kita pikirkan dulu seolah-olah dia adalah saudara kita, teman kita, anak kita, orang tua kita, atau orang yang kita hormati dan sayangi lainnya, apakah kita akan tetap membicarakannya? Jika iya, barangkali itu memang benar untuk kepentingan yang lebih besar, tapi kalau tidak, mungkin itu tak pantas diungkapkan. Karena memang demikianlah adanya, orang yang kita cacati kehormatannya itu mungkin punya anak, mungkin punya orang tua, mungkin punya banyak teman dekat, sedihkah mereka? Malukah kita jika kita jadi mereka? Apalagi menyebarkannya lewat media, di mana ada banyak sekali mata dan telinga yang menangkapnya, Malu, Malu, Malu, bagaimana kalau saudara kita yang dibicarakan itu? Dan sebenarnya dia memang saudara, entah saudara seagama, sebangsa, atau sesama manusia.

Semoga aku menemukan negeri itu, atau jika ingin itu adalah negeriku, berarti aku pun harus jadi pemalu.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Followers